Kamis, 31 Juli 2008

Pendidikan Dalam Khilafah

Asas dan Format Pendidikan dalam Negara Khilafah

Pengantar

Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji fî Dawlah al-Khilâfah adalah buku yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir untuk menjelaskan asas-asas pendidikan formal dalam Daulah Khilafah Islamiyah. Harapannya, setelah membaca buku ini, pembaca akan memahami kebijakan-kebijakan Negara Khilafah dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal; baik policy yang berkaitan dengan asas, tujuan pendidikan maupun politik pendidikan Negara Khilafah. Tidak hanya itu, pembaca juga akan memahami jenjang-jenjang pendidikan formal, mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan, tujuan dan fokus pelajaran di setiap jenjangnya.

Kebijakan Pendidikan Daulah Khilafah Islamiyah

Kebijakan pendidikan Daulah Khilafah Islamiyah adalah sebagai berikut;

  1. Asas pendidikan formal adalah akidah Islam. Seluruh mata pelajaran dan metode pengajaran harus berdasarkan akidah Islam.
  2. Kebijakan pendidikan adalah pembentukan sistem berpikir dan kejiwaan islami pada anak didik.
  3. Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian islami serta membekali anak didik dengan sejumlah ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan hidupnya.
  4. Dalam pendidikan, ilmu eksperimental beserta derivatnya harus dibedakan dengan pengetahuan yang berhubungan dengan tsaqâfah. Ilmu-ilmu eksperimental diajarkan tanpa terikat dengan jenjang-jenjang pendidikan dan disajikan sesuai dengan kebutuhan. Adapun pengetahuan yang berhubungan dengan tsaqâfah diberikan pada jenjang pendidikan pertama sebelum jenjang pendidikan tinggi, berdasarkan kebijakan tertentu yang tidak bertentangan dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam. Pada jenjang pendidikan tinggi, tsaqâfah diajarkan dalam bentuk pengetahuan, dengan syarat, tidak keluar dari kebijakan dan tujuan pendidikan Islam.
  5. Pendidikan tsaqâfah Islam harus disajikan di setiap jenjang pendidikan. Adapun cabang-cabang tsaqâfah Islam beserta ragamnya disajikan pada jenjang pendidikan tinggi. Ilmu-ilmu kedokteran, teknik, dan lain sebagainya juga disajikan pada jenjang pendidikan tinggi.
  6. Ilmu sains dan teknologi yang terkategori dalam ilmu yang bebas nilai (free of value) boleh diambil tanpa ada persyaratan apapun. Yang berkaitan dengan tsaqâfah atau pandangan hidup tertentu tidak boleh diambil jika bertentangan dengan Islam, misalnya at-tashwîr (seni melukis, menggambar atau membuat patung makhluk yang bernyawa).
  7. Kurikulum pendidikan harus tunggal. Tidak diperkenankan ada kurikulum lain selain kurikulum Negara. Lembaga pendidikan swasta boleh berdiri selama kurikulum pendidikannya terikat dengan kurikulum Negara dan berdiri di atas asas kebijakan umum pendidikan Negara.
  8. Negara menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang agama, suku, dan ras.
  9. Negara bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya. (hlm. 9-12).

Rabu, 02 Juli 2008

nasionalisme membangkitkan kaum muslim?

Nasionalisme: Membangkitkan Kaum Muslim?

Nasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai: “kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas dan kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu”. Masih menurut KBBI bahwa Nasionalisme adalah “paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri”.

Dari sini kita bisa melihat bahwa nasionalisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan kebangsaan (Nasionalisme) ini terjadi tatkala manusia mulai hidup bersama dan tidak beranjak dari sana. Saat itulah naluri mempertahankan diri yang sejatinya dimiliki manusia berperan penting dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya. Dari sinilah muncul dan tumbuh ikatan nasionalisme, yang tergolong ikatan paling rendah nilainya dan lemah. Biasanya ikatan ini pun muncul di dunia hewan dan senantiasa temporal sifatnya. Ikatan ini akan muncul tatkala ada ancaman pihak asing yang akan menyerang dan menaklukan suatu negeri. Namun jika suasana aman atau musuh dapat dihalau dari negeri itu, maka sirnalah kekuatan ini.

Inilah gambaran mendalam tentang nasionalisme. Namun, mengapa ide ini begitu cepatnya diadopsi oleh banyak bangsa dan negara di dunia, khususnya dunia Islam? Mampukah nasionalisme ini dijadikan sebagai ikatan antar manusia untuk meraih kebangkitan kaum muslim?

Gagasan nasionalisme ini bersumber dari ‘zaman purba’. Ini diperkenalkan oleh seorang Yahudi kuno. Kemudian tertimbun kurang lebih 20 abad dan muncul kembali di abad ke-17 di Inggris. Ternyata, jika kita melihat sejarah peradaban Islam maka akan sangat mudah diterka bahwa nasionalisme ini adalah senjata yang sangat ampuh untuk memecah belah wilayah Khilafah Islam. Bagaimana tidak, serangan misionaris yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan ini ternyata mempunyai dua tujuan yang fundammental, yakni memisahkan Arab dari Daulah Utsmaniyah; dan menjauhkan kaum Muslim dengan ikatan yang hakiki, yaitu Islam. Benih nasionalisme ini memang sudah disemai misionaris Kristen jauh sebelum Kekhilafahan terakhir runtuh di tahun 1924 yakni melalui sekularisasi pendidikan. Kafir Barat pun melakukan infiltrasi ide sekularnya ke dalam dunia Islam yang sangat terkait dengan ide nasionalisme. Walhasil, runtuhlah Kekhilafahan terakhir di Turki dan terpecah belahlah Daulah Islam menjadi lebih dari 50 negara kecil, yakni sebagai simbol runtuhnya peradaban Islam, lemahnya kaum Muslimin menuju posisi yang paling nadir.

Oleh karena itu, menjadikan nasionalisme ini sebagai asas dan landasan ikatan manusia (kaum Muslimin) dalam rangka membangkitkan ummat Islam adalah suatu hal yang utopis. Justru ide inilah yang diibaratkan sebagai belati yang telah mengoyak Daulah Islam yang diibaratkan sebagai ibu kita hingga berkeping-keping. Lantas kaum Muslim saat ini malahan mempermainkan belati ini yang bisa jadi malahan membunuh saudaranya yang lain, setelah berhasil membunuh ibunya. Memang tidak layak bagi kita mengambil ide ini, karena secara spesifik bertentangan dengan Islam, diantaranya:

1. Islam menjadikan Allah di atas segalanya, bukan bangsa atau yang lainnya sebagaimana nasionalisme.

2. Islam hanya mengenal ikatan aqidah Islam yang berwujud ukhuwah islamiyah, bukan dibatasi teritorial sebagaimana nasionalisme.

3. Nasionalisme meniscayakan fashluddin’anidDaulah, sementara Islam sebaliknya.

4. Nasionalisme menjadikan ummat Islam terpecah belah belah dan mencegah ummat Islam bersatu.

Kesatuan dan persatuan ummat adalah hal penting dalam menapaki kebangkitan Islam. Namun dengan diadopsinya nasionalisme di dunia Islam yang terjadi adalah disintegrasi ummat. Hal inilah yang membuktikan kemustahilan nasionalisme membangkitkan kaum Muslimin. Banyak contoh yang bisa kita ambil, misal permasalahan disintegrasi bangsa Indonesia yang mulai ditutup-tutupi yakni masih adanya Oprasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, Gerakan Pengacau Keamanan. Bahkan Timor-Timur yang sudah lama lepas menjadi bukti disintegrasi bangsa benar adanya. Sebelumnya ada perang Iran-Irak selama sekira delapan tahun, krisis Teluk di tahun 90-an, Krisis Palestina yang tak kunjung usai, dll. Disintegrasi ini nampaknya jika ditelaah lebih dalam bermuara pada benak kaum Muslimin yang masih terpasung dengan ide nasionalisme ini.

Supaya keterpecahbelahan kaum Muslimin ini terwujud dan tetap terjaga, Kafir Barat Penjajah yang dipelopori Inggris telah menanam agen-agen mereka di Timur Tengah, yakni Palestina (jantung Dunia Islam) sebelum Perang Dunia I. Selanjutnya Lord Campbell diutus Inggris ke Timur Tengah untuk menganalisis kebangkitan kaum Muslimin. Lord menyimpulkan hasil penelitiannya, yakni:

“di Timur Tengah terdapat satu bangsa yang saling terikat satu sama lain. Mereka tinggail sepanjang samudera hingga ke teluk dalam satu wadah, satu agama, satu tanah air yang kokoh, serta satu cita-cita. Untuk itu kita mesti memutuskan keterikatan mereka dan memecah belah persatuan mereka. Caranya adalah dengan menciptakan negara di dalam negara mereka yang akan menjadi mitra kita sekaligus memusuhi penduduk di wilayah tersebut”

Dalam kitab Daulah Islam, Syekh Taqiyuddin memberikan gambaran tentang strategi lain yang dilakukan Inggris adalah dengan mengandalkan umala (agen)nya yang sengaja direkrut dari kalangan elit Muslim sendiri; menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan di negeri kaum Muslimin; menjadikan kemerdekaan nasional sebagai tujuan, sekaligus berupaya melanggengkannya melalui penentuan batas teritorialnya; serta menjadikan kemerdekaan nasional (berdasarkan nasionalisme) untuk melanggengkan bentuk negara bangsa (nation state).

Sangatlah jelas bahwa nasionalisme sama sekali tidak akan pernah mewujudkan persatuan dan kesatuan Ummat Islam menuju kebangkitan kaum Muslim, yang ada malah menjerumuskan pada disintegrasi, kehancuran, dan kebobrokan sampai kini.

Nasionalisme terkait erat dengan penyeruan kesatuan berdasarkan ikatan kekeluargaan, kesukuan dan kebangsaan. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda:

“Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah (nasionalisme, sukuisme), orang yang berperang karenanya, serta orang-orang yang mati karenanya”

Selain itu Rasulullah saw. sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Musa bersabda:

“Orang Arab tidaklah lebih baik dari orang non Arab. Sebaliknya, orang non Arab tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam kecuali dalam hal keteqwaannya. Umat manusia adalah anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari tanah liat”

Dalam Hadits lain tentang ashabiyah, Rasul saw. bersabda:

“Tinggalkanlah, dia tidak berguna” (HR. Bukhori Muslim)

dan dalam hadits yang ditulis oleh Misykat al Mashabih, Rasulullah saw. bersabda:

“Dia menyeru kepada ashabiyah laksana seorang yang menggigit kemaluan bapaknya”

Sebaliknya Islam mewajibkan aqidah sebagai pengikat sesama mukmin. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersausara” (Al-Hujurat:10)

Sangat tepat jika kita mengatakan bahwa ikatan nasionalisme, begitupula ikatan kesukuan, ikatan kemaslahatan, dan ikatan kerohanian tanpa aturan tidak layak dijadikan sebagai pengikat manusia dalam kehidupannya, untuk meraih kebangkitan dan kemajuan. Ikatan yang benar untuk mengikat manusia di kehidupannya dalam meraih kebangkitan hakiki adalah aqidah aqliyah (aqidah yang lahir melalui proses berfikir) yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh. Inilah yang disebut sebagai ikatan ideologis dan memang mampu membawa manusia pada kebangkitan yang hakiki. Namun, kebangkitan hakiki yang benar bagi kaum Muslimin untuk meraihnya, tentulah hanya dengan ideologi Islam yang telah terbukti memuaskan akal, sesuai dengan fitrah manusia dan mampu memberikan ketenangan jiwa. Wallahu’alamBish-Shawab [MK]